Pengadilan Negeri Pati Kelas IA
Sesungguhnya keberadaan peraturan kebijakan tidak dapat dilepaskan dengan kewenangan bebas dari pemerintah yang dikenal dengan istilah freis ernessen. Dengan kata lain kewenangan badan atau pejabat tata usaha negara mengeluarkan peraturan kebijakan didasarkan pada asas kebebasan bertindak yang dimilikinya (beleidsvrijheid atau beorde lingsvrijheid).
Markus Lukman (1997: 205) menguraikan bahwa freis ernessen dalam bahasa Jerman berasal dari kata frei yang artinya bebas, lepas, tidak terikat, dan merdeka. Freies artinya orang bebas, tidak terikat dan merdeka. Sedangkan ernessen berarti mempertimbangkan, menilai, menduga dan memperkirakan. Freis ernessen berarti orang yang memiliki kebebasan untuk menilai, menduga dan mempertimbangkan sesuatu.
Istilah ini kemudian secara khas digunakan dalam bidang pemerintahan, sehingga freis ernessen diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus dituntut sepenuhnya oleh peraturan perundang-undangan.
Dewasa ini peraturan kebijakan ada yang sifatnya peraturan murni dan berlaku umum dan ada pula yang berwatak tidak berupa peraturan murni dan tidak terlalu umum, melainkan hanya bersifat institusional dan berlaku ke dalam.
J.H. Van Kreveld (Markus Lukman, 1997: 121 ) mengemukakan, ciri utama dari peraturan kebijkan adalah:
Menurut Marcus Lukman (1997: 19) ciri-ciri tersebutlah yang membedakan peraturan kebijakan dengan peraturan perundang-undangan murni yang secara nyata, tegas, dan jelas diperintahkan pembentukannya oleh peraturan perundang-undangan tingkat atasan (bersifat atribusi dan delegasi).
Walaupun peraturan kebijakan berbeda dengan peraturan perundang-undangan murni, namun dalam praktek secara hukum ia diberlakukan dan dilaksanakan sebagaimana layaknya peraturan perundang-undangan biasa. Menurut Belifante (1985: 84) bahwa peraturan kebijakan bukan merupakan peraturan perundang-undangan, akan tetapi di dalam banyak hal peraturan kebiakan juga berwatak peraturan oerundang-undangan seperti mengikat secara umum di mana masyarakat tidak ada pilihan lain kecuali mematuhinya.
Selanjutnya Hammid Attamini (1993: 13) menggambarkan bahwa dari segi bentuk dan formatnya peraturan kebijakan menyerupai peraturan perundang-undangan lengkap dengan pembukaan berupa konsideran “menimbang” dan dasar hukum “mengingat”, batang tubuhnya yang berupa pasal-pasal, bagian-bagian bab serta penutup.
Sekalipun demikian, hakim secara absolut tidak diwajibkan menerapkan peraturan kebijakan oleh karena pada dasarnya hakim hanya wajib menerapkan peraturan perundang-undangan.
Peraturan kebijkan bersumber dari freis ernesen yang berintikan tindakan bebas administrasi negara dan diperlukan sesuai tuntutan kehidupan dan kebutuhan masyarakat. Tetapi di lain pihak amat berbahaya bagi kelangsungan negara hukum bila penggunaannya berlebihan dan tidak mendapatkan pengawasan dan pengendalian dalam penerapannya. Kondisi seperti inilah yang hendak dijaga agar eksistensi negara hukum Indonesia tidak terancam dengan hadirnya peraturan kebijakan, dimana dalam praktek pemerintahan sungguh sangat diperlukan.
Terkait hal yang dikemukakan di atas, dalam perjalanannya Mahkamah Agung telah mengeluarkan berbagai peraturan dan kebijakan dari tahun ke tahun demi terlaksananya tugas pokok dan fungsi Mahkamah Agung sebagai Badan Peradilan di Indonesia dan telah dirangkum serta dikemas dalam sebuah Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Mahkamah Agung RI.
Scroll to Top